Isu mengenai sistem zonasi memang bukanlah isu yang baru. Faktanya, setahun yang lalu jagat media sosial dihebohkan oleh pemberlakukan sistem tersebut. Sistem zonasi membuat calon peserta didik dan walinya tidak bisa memilih sekolah yang katakanlah “favorit”, karena dipaksa untuk bersekolah di zona atau tempat tinggal saja.
Sebagian besar orang menilai bahwa sistem zonasi ini memberatkan bahkan merugikan bagi siswa itu sendiri. Tapi, apakah benar demikian?
Sejarah Sistem Zonasi
Jika Anda mengikuti perkembangannya, Anda pasti tahu bahwa sistem zonasi adalah sesuatu yang bisa dikatakan baru. Sistem ini baru muncul dalam aturan Permendikbud No. 14 Tahun 2018, artinya baru berumur 2 tahun. Sederhananya, sistem zonasi adalah sebuah sistem yang mengatur proses penerimaan siswa baru sesuai dengan wilayah atau zona tempat tinggalnya.
Adapun sistem zonasi dibuat tentu bukan tanpa maksud. Ia dibuat agar tidak ada lagi kasta-kasta sekolah yang membuat kualitas pendidikan tidak merata. Gampangnya, sistem ini dibuat agar tidak ada lagi sekolah favorit dan non-favorit.
“Memang apa masalahnya kalau itu tetap ada?”
Ya masalah dong. Input atau masukan siswa di sebuah sekolah akan menentukan prestasi sekolah tersebut. Sekolah favorit tentu akan lebih mudah menggapai prestasi karena input siswanya juga sudah bagus-bagus. Nah, sistem zonasi membuat siswa yang memang dasarnya sudah bagus bisa terdistribusi merata di sekolah-sekolah yang ada. Balik lagi, sistem zonasi untuk menghilangkan kasta!
Lalu, seperti apa sebenarnya pelaksanaan sistem zonasi tersebut di lapangan?
Baca juga : 7 Penyebab Pelajar Indonesia Ketinggalan dari Negara Lain
Potret Pelaksanaan Sistem Zonasi
Sebelum kita bicara tentang potret pelaksanaannya, baiknya perlu kita bahas lebih jauh mengenai sistem ini. Dikutip dari tirto.id, PPDB zonasi dilakukan dengan memprioritaskan calon siswa yang jarak tempat tinggalnya dengan sekolah dekat. Nah, jarak yang dihitung bukan jarak dari rumah si calon siswa, melainkan jarak Kantor Desa/Kelurahan menuju sekolah.
Jika ada calon-calon siswa yang mendaftar dan jarak tempat tinggalnya sama, maka diprioritaskan yang nilai Ujian Nasional-nya lebih tinggi dan lebih dulu mendaftar. Meskipun demikian, PPDB Zonasi bukan satu-satunya jalur penerimaan yang ada di sekolah. Ada beberapa jalur penerimaan lain meskipun jalur zonasi memang yang paling banyak kuotanya.
Sepintas aturan sistem zonasi tampak sederhana, tapi masih ada banyak masalah pada sistem zonasi ini, setidaknya begitu kata Satriwan Salim, Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) terhadap PPDB 2018 lalu. Adapun masalah tersebut adalah munculnya jalur baru di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang dinamakan jalur SKTM, perpindahan tempat tinggal tiba-tiba, sepinya peminat sekolah yang jauh dari konsentrasi pemukiman, kelebihan dan kekurangan siswa di sekolah tertentu.
Baca juga : Edukasi Jadi Easy dengan Teknologi Informasi di Tengah Pandemi
PPDB 2020, Sistem Zonasi Diperketat
Permasalahan yang terjadi pada sistem zonasi di atas sebenarnya bisa dimaklumi karena itu terjadi pada tahun pertama, sementara saat ini sudah memasuki tahun ketiga. Lantas, bagaimana aturan sistem zonasi di tahun 2020 ini?
Masih dari tirto.id, Nadiem Makarim selaku Mendikbud menilai bahwa tidak semua daerah siap untuk menjalankan sistem zonasi. Hal itu mendorong Kemendikbud untuk mengeluarkan kebijakan kompromi dari zonasi dengan menambah kuota jalur prestasi dari 15% menjadi 30% serta mengurangi kuota jalur zonasi dari 80% (tahun 2019) menjadi 70%. Untuk informasi, pada tahun 2018 kuota jalur zonasi adalah 90%.
Namun di samping itu, daerah-daerah yang dinilai siap dengan sistem zonasi tampaknya harus memperketat pelaksanaan sistem tersebut. Sebagai contoh, pemerintah provinsi Sumatra Barat memberlakukan sistem zonasi dengan ketat pada PPDB 2020 ini. Bahkan, dilansir dari Kompas.com, Dinas Pendidikan SUMBAR menerapkan sistem zonasi murni atau menyeluruh pada PPDB sekolah menengah atas (SMA).
Jika kita tilik kembali apa motivasinya, ya itu tadi, untuk menghapus sekolah unggulan sehingga pemerataan kualitas pendidikan bisa dicapai. Menurut hemat saya, itu adalah langkah baik yang patut diapresiasi dan menjadi kelebihan dari sistem zonasi ini.
“Lalu bagaimana dengan kekurangannya?”
Kekurangannya adalah banyak calon peserta didik yang “terpaksa” bersekolah di sekolah-sekolah yang secara sarana dan prasarana belum cukup memadai ketimbang sekolah yang sudah terlanjur tercitra “unggul”. Hal ini saya rasa jadi perhatian pemerintah selaku pemangku kepentingan. Yah, kita berbaik sangka saja bahwa perbaikan sarana dan prasarana sekolah serta bagian lainnya sedang diupayakan oleh pemerintah kita.
Terlepas dari itu, jika ada kebijakan yang dimaksudkan untuk tujuan yang baik, pilihan terbaik adalah mendukungnya, bukan? Oke, jadi kira-kira ke sekolah mana, anak, keponakan atau adik Anda bersekolah tahun ini?[]
Jujur aja masih bingung sama sistem Zonasi ini. Banyak rekan kerja yang ngeluh karena anaknya jadi bersekolah di tempat yang kurang fasilitas dan dengan jarak yang jauh padahal ada sekolah bagus yang dekat rumahnya. Bahkan keponakan saya juga kena imbasnya, akhirnya milih sekolah swasta yang dekat dari rumah